Wednesday, April 24, 2013

Broken

Hey, what do you want from me?
Money? Sorry, I have no.
My heart? I have one, but it's stolen and I don't know where it is.
My soul? I forget where it has been. It must be gone so far away.
My brain? I think it's broken, it doesn't work well, I tell you,
or my mind? but I don't think that I still have this one. Someone dissolved it, then disappeared.

I have nothing to give.

My lung has stopped breathing.
My mouth, I don't know, it loses tongue, I cannot speak.
My eyes are blind, everything seems so dark, darker than the night.
My feet cannot move, too hard to step over.
My body became so weak, weaker than the weakest

I've died before the date of my death

Nothing I can hear, nothing I can feel. All become so numb and feared.

Sunday, April 14, 2013

Ekor Kucing di Bumi Manusia

Mendung masih menggelantung, menanti hujan yang tak kunjung turun. Aku menatap mereka, makhluk tuhan yang disebut manusia. Mereka menempati bangunan-bangunan berjajar yang mereka sebut rumah. Aku senang memperhatikan mereka. Setiap pagi, aku melihat mereka pergi. Menunggangi kuda besi atau kotak besar bermesin yang mereka sebut mobil. Sore hari, mereka kembali. Begitu setiap hari.

Saat sore menjelang, manusia-manusia kecil datang. Kadang berlarian mengelilingiku. Walau terkadang tak satu pun yang menghampiriku. Tapi aku tetap senang. Aku senang melihat mereka tertawa. Aku senang melihat bahagia di wajah mereka. Aku mungkin bukan siapa-siapa. Aku hanya makhluk tuhan, sama seperti mereka.

Kau tahu? hal terindah dalam hidupku adalah bisa menyaksikan makhluk-makhluk tuhan tersenyum bahagia. Aku senang saat manusia-manusia kecil itu bersembunyi, bermain-main di sampingku. Aku senang saat burung-burung bernyanyi, menari di antara daun dan batangku. Yang paling ku suka dan slalu ku rindu, saat dia, anak manusia berparas indah, duduk di dekatku.

Dia begitu berbeda. Entah dari mana asalnya, dia slalu muncul tak terduga. Duduk di sampingku seolah bercerita. Aku tak pernah melihatnya di antara rumah-rumah yang ada. Tak pernah juga ku lihat dia bermain atau bertutur sapa dengan manusia-manusia di sana. Yang aku tahu, dia slalu datang tiba-tiba, di saat petang,  sebelum senja menghilang.

Kadang dia menyentuhku. Mengelus daun-daunku, seakan menyampaikan sesuatu. Tapi bibir itu slalu membisu. Hanya dari senyum dan pancar indah matanya aku tahu. Aku tahu dia sedang berkata, bercerita   dalam tiap tatap matanya. Dia bercerita, tak hanya padaku, tapi juga pada langit, angin, awan, dan pada matahari yang beranjak tengggelam. Ah, andai aku juga manusia sepertinya, pasti kan ku ajak dia bicara. Sayangnya aku bukanlah manusia. Sekali lagi, aku hanya makhluk tuhan, sama seperti mereka.

Di sini, di tempatku berdiri, makhluk-makhuk tuhan sering bercengkrama. Memandangi hijau rumahku, menatap biru langit, menikmati semilir angin. Mereka slalu menyisahkan cerita yang berbeda. Kau dengar nyanyian burung itu, begitu sendu. Tapi lihatlah ia tetap menyanyikannya dengan nada-nada bahagia. Pun ulat berbulu itu, terlalu bersemangat menggerogoti daun sahabatku sebelum nantinya ia akan menjadi kupu-kupu. Belum lagi manusia-manusia kecil itu, begitu lucu.

Tapi, semua itu takkan berlangsung lama. Takkan ada lagi burung-burung bernyanyi di dahanku. Takkan ada lagi manusia-manusia kecil bermain di dekatku. Takkan ada lagi manusia berparas indah dengan senyumnya. Yang ada, dan semakin bertambah, manusia dan rumah-rumah mereka. Sementara aku, dan hijau rumahku, semakin hilang. Mungkin tenggelam, atau tergusur bangunan-bangunan berjuluk rumah manusia itu.

Kau tahu bumi ini milik tuhan, tempat hidup makhluk-makhluk tuhan. Aku makhluk tuhan, pun manusia, burung-burung, ulat, dan tumbuhan-tumbuhan. Tapi kenapa hijau rumahku kian menghilang, sementara rumah manusia kian bertambah dan berkembang. Apa mungkin bumi ini tak lagi milik tuhan?. Bumi telah banyak berubah. Bumi ini, bumi manusia.

Sekali lagi, aku memang bukan siapa-siapa. Aku hanya makhluk tuhan, sama seperti mereka. Aku makhluk tuhan berjenis tumbuhan. Aku hidup di hijau rumahku, di sekitar rumah-rumah manusia yang semakin banyak bertambah. Aku tak berbuah, hanya berbunga. Bungaku berwarna merah, panjang, menyerupai ekor binatang bernama kucing. Kau bisa memanggilku ekor kucing jika kau mau. Hanya ekor kucing. Ekor kucing di bumi manusia, dan mungkin tak lama lagi aku akan tiada.

Saturday, April 6, 2013

Ekor Kucing dan Sepatu Butut

Seperti Ekor Kucing dan sepatu butut itu, aku dan dirimu.
Selalu berbeda, tak pernah sama.
Tapi kita selalu bersama, dulu.
Aku suka mendengar cerita-ceritamu,
Cerita tentang kumbang dan kupu-kupu yang datang menghampirimu, dan kau suka itu. 
Cerita tentang indahnya awan dan dinginnya hujan, tentang badai, juga halilintar.
Aku selalu suka ceritamu, sepertimu yang juga senang mendengar ceritaku, walau aku tahu, aku tak pandai bercerita sepertimu.


Dulu.
Kau dan aku sering bercengkrama, menikmati hembusan angin dan percikan air hujan.
Bersama, menatap indah cakrawala. 
Kau tahu? aku selalu bahagia saat itu,
Saat kau duduk di sampingku, saat kau mau mendengarkan ceritaku.

Dulu.
Kau dan aku begitu lekat, begitu dekat.
Seperti akar yang menjulur dari tubuhmu itu, aku tak bisa jauh.
Hingga saatnya aku tahu, kau lebih bahagia bersama kumbang dan kupu-kupu

Dan aku pun tersadar, aku hanya lah sepatu butut.
Bukan kumbang yang bisa membuatmu senang,
Bukan kupu-kupu yang pandai merayu, membuatmu tersipu.
Aku memang tak punya sayap seperti kupu-kupu,
Tapi aku senang, karena dengan begitu, aku takkan pernah terbang, meninggalkannmu.