Sunday, April 14, 2013

Ekor Kucing di Bumi Manusia

Mendung masih menggelantung, menanti hujan yang tak kunjung turun. Aku menatap mereka, makhluk tuhan yang disebut manusia. Mereka menempati bangunan-bangunan berjajar yang mereka sebut rumah. Aku senang memperhatikan mereka. Setiap pagi, aku melihat mereka pergi. Menunggangi kuda besi atau kotak besar bermesin yang mereka sebut mobil. Sore hari, mereka kembali. Begitu setiap hari.

Saat sore menjelang, manusia-manusia kecil datang. Kadang berlarian mengelilingiku. Walau terkadang tak satu pun yang menghampiriku. Tapi aku tetap senang. Aku senang melihat mereka tertawa. Aku senang melihat bahagia di wajah mereka. Aku mungkin bukan siapa-siapa. Aku hanya makhluk tuhan, sama seperti mereka.

Kau tahu? hal terindah dalam hidupku adalah bisa menyaksikan makhluk-makhluk tuhan tersenyum bahagia. Aku senang saat manusia-manusia kecil itu bersembunyi, bermain-main di sampingku. Aku senang saat burung-burung bernyanyi, menari di antara daun dan batangku. Yang paling ku suka dan slalu ku rindu, saat dia, anak manusia berparas indah, duduk di dekatku.

Dia begitu berbeda. Entah dari mana asalnya, dia slalu muncul tak terduga. Duduk di sampingku seolah bercerita. Aku tak pernah melihatnya di antara rumah-rumah yang ada. Tak pernah juga ku lihat dia bermain atau bertutur sapa dengan manusia-manusia di sana. Yang aku tahu, dia slalu datang tiba-tiba, di saat petang,  sebelum senja menghilang.

Kadang dia menyentuhku. Mengelus daun-daunku, seakan menyampaikan sesuatu. Tapi bibir itu slalu membisu. Hanya dari senyum dan pancar indah matanya aku tahu. Aku tahu dia sedang berkata, bercerita   dalam tiap tatap matanya. Dia bercerita, tak hanya padaku, tapi juga pada langit, angin, awan, dan pada matahari yang beranjak tengggelam. Ah, andai aku juga manusia sepertinya, pasti kan ku ajak dia bicara. Sayangnya aku bukanlah manusia. Sekali lagi, aku hanya makhluk tuhan, sama seperti mereka.

Di sini, di tempatku berdiri, makhluk-makhuk tuhan sering bercengkrama. Memandangi hijau rumahku, menatap biru langit, menikmati semilir angin. Mereka slalu menyisahkan cerita yang berbeda. Kau dengar nyanyian burung itu, begitu sendu. Tapi lihatlah ia tetap menyanyikannya dengan nada-nada bahagia. Pun ulat berbulu itu, terlalu bersemangat menggerogoti daun sahabatku sebelum nantinya ia akan menjadi kupu-kupu. Belum lagi manusia-manusia kecil itu, begitu lucu.

Tapi, semua itu takkan berlangsung lama. Takkan ada lagi burung-burung bernyanyi di dahanku. Takkan ada lagi manusia-manusia kecil bermain di dekatku. Takkan ada lagi manusia berparas indah dengan senyumnya. Yang ada, dan semakin bertambah, manusia dan rumah-rumah mereka. Sementara aku, dan hijau rumahku, semakin hilang. Mungkin tenggelam, atau tergusur bangunan-bangunan berjuluk rumah manusia itu.

Kau tahu bumi ini milik tuhan, tempat hidup makhluk-makhluk tuhan. Aku makhluk tuhan, pun manusia, burung-burung, ulat, dan tumbuhan-tumbuhan. Tapi kenapa hijau rumahku kian menghilang, sementara rumah manusia kian bertambah dan berkembang. Apa mungkin bumi ini tak lagi milik tuhan?. Bumi telah banyak berubah. Bumi ini, bumi manusia.

Sekali lagi, aku memang bukan siapa-siapa. Aku hanya makhluk tuhan, sama seperti mereka. Aku makhluk tuhan berjenis tumbuhan. Aku hidup di hijau rumahku, di sekitar rumah-rumah manusia yang semakin banyak bertambah. Aku tak berbuah, hanya berbunga. Bungaku berwarna merah, panjang, menyerupai ekor binatang bernama kucing. Kau bisa memanggilku ekor kucing jika kau mau. Hanya ekor kucing. Ekor kucing di bumi manusia, dan mungkin tak lama lagi aku akan tiada.

No comments:

Post a Comment